Jumat, Juli 9

Lima Menara, Pondok Pesantren?

Udah dari lama temen-temen gue pada merekomendasikan buku ini. Mulai baca jam setengah 9 pagi, khatam jam setengah 6 sore. Suatu prestasi yang tidak membanggakan. Emak gue bisa lebih cepet lagi kalo baca novel haha seriously. Terus katanya ada orang -siapaa gitu lupa, yang bisa baca 4 buku dalam semalem! Gue jadi berniat menguasai quantum reading nih zz.

Terasa familiar disana-sini ketika membacanya. Si tokoh utama ini dari ranah minang ternyata, nenek gue juga orang minang, dan entah bagaimana muka gue jadi mewarisi darah padang.

Banyak guru-guru gue dari smp dan sma suka bilang:
"ghea kamu orang padang ya?"
"ha? bukan bu, kampung saya di malang"
"masa sih, dari mukanya kamu muka orang padang ah"
"oh iya lupa hehe, nenek saya sih yang orang padang"

Buku ini hampir seluruhnya ngebahas suka duka menjalani kehidupan pesantren. Lagi-lagi terasa familiar.

Tertulis dibelakang sampul: A.Fuadi, penerima 8 beasiswa.
Wow. Haha kaga kebanyakaan.. -_-
Boleh percaya, dulu selepas gue smp, gue hampir dimasukin ke suatu pesantren di bandung. Bener-bener ga bisa ngebayangin, ide gila ini bukan mau gue. I mean, dari Al-Azhar gitu lho pindah ke pesantren alias madrasah aliyah, yang gue sama sekali belom pernah denger namanya, berasa turun derajat -__-"

Gue mau sebenernya di pesantren, asalkan itu IC. Insan Cendekia. Sekolah hebat yang sudah banyak diakui taringnya. Gue sama ditut sempat mati-matian tambahan belajar bahasa arab sama pak Awi. Tapi ditengah jalan gue kecewa, sakit hati, marah, dan akhirnya berhenti mencoba. Kenapa? Karena IC waktu itu tidak membuka pendaftaran dari luar madrasah. Apalagi sekolah swasta seperti Al-Azhar. Kenapa gue dibedakan dengan mereka??

Betapa waktu itu gue sangat berharap bisa sekolah di pesantren yang konon susahnya naujubilah buat keterima disana. Gue saat itu haus. Ada sesuatu di sekolah gue yang selalu hilang. Logo masjid itu hanya embel-embel. Hafalan ayat-ayat quran, hukum-hukum dan sejarah islam terasa hampa, sekedar nilai. Mereka lupa mengajarkan kami cara memaknai ilmu, mereka lupa mengajarkan kami bagaimana meresapi semuanya kedalam dada. Ah kalo di madrasah mungkin diajarin.

Sebagai anak yang termasuk kategori nakal di smp, sering menghayal. Terbayang kemungkinan-kemungkinan nanti ketika di IC, untuk mencoba melanggar sedikit dari mungkin puluhan aturan ketat disana. Apa rasanya ya?

Lewat Negeri 5 Menara, akhirnya gue bisa melihat jelas kehidupan anak pesantren. Seru juga. Dan sepertinya sangat menderita -__- hahaha. Ya, tiada hari untung bersantai-santai kecuali hari jumat, hari libur mereka. Sisanya bener-bener sebuah rutinitas padat yang menguras otak.

Kenapa buku ini banyak sekali menceritakan tentang belajar? tentang ujian? Sering gue ikutan merasa penat, pusing, mual, ketika si Alif dan sahibul menara lainnya berjuang gila-gilaan untuk lulus ujian.

Perasaan ini, benar-benar familiar. Kelas 3 yang mengucurkan darah, pemerasan otak, betapa gue menjalaninya jungkir balik persis seperti anak-anak itu. Waktu UN, waktu Simak, waktu UMB, itu masa-masa yang gila. Gila belajar, kegagalan, kesedihan, lalu menjadi ketidakpedulian, lalu kembali lagi bersemangat, rasa jenuh bertubi-tubi, beban berat yang dipikul.

After all, I survived. They Survived.

Bagus, buku ini bagus. Cukup memotivasi. Apalagi buat yang bentar lagi kelas 3. Tapi kalo boleh subjektif, kalo boleh ngebandingin, gue masih lebih suka Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi hehe.

0 comments: